Makhluk Bernama Yeti Hanyalah Kekeliruan Bahasa?
Sebuah keributan sempat meletup di Nepal setelah seorang ahli bahasa-bahasa Himalaya berkebangsaan Jepang menegaskan bahwa makhluk misterius yang disebut yeti sebenarnya tidak lebih dari kekeliruan identitas karena kemiripan bahasa.
Dr Matako Nabuka, dalam suatu konferensi pers di Tokyo, mengatakan yeti bukanlah kera misterius atau makhluk berbulu lebat dan berjalan tegak yang hidup di ketinggian Himalaya. “Yang dimaksudkan dengan yeti sesungguhnya adalah beruang cokelat Himalaya, yang dalam dialek lokal Tibet disebut meti,” ujar Nabuka. “Namun orang kemudian keliru memahami sebutan itu dan menganggapnya sebagai makhluk misterius lain. Parahnya, cerita tersebut meluas dan dipercaya banyak orang.”
Dr Nabuka sendiri adalah seorang peneliti dan pendaki gunung yang sudah menghabiskan waktu sekitar 12 tahun di Nepal, Tibet dan Bhutan. Ia mengaku pernah memimpin berbagai riset untuk mencari yeti, kera besar yang hidup di gua-gua salju Pegunungan Himalaya, namun hasilnya nol besar. “Orang-orang yang mengaku pernah melihatnya pun tidak pernah datang dengan membawa bukti. Tidak seorangpun berhasil membuktikan keberadaannya,” ujar Nabuka.
Tentu saja pernyataan Dr Nabuka itu mendapat bantahan, terutama di kalangan penduduk lokal di sekitar Kathmandu yang mempercayai adanya yeti. Namun Dr Nabuka tetap pada keyakinannya bahwa apa yang disebut yeti adalah beruang cokelat. Lebih-lebih lagi, suku-suku di Himalaya menyembah beruang cokelat sebagai jelmaan dewa, dan menghubungkannya dengan kekuatan supernatural sehingga cerita mengenai hewan itu banyak dilebih-lebihkan.
Tentu saja pernyataan Dr Nabuka itu mendapat bantahan, terutama di kalangan penduduk lokal di sekitar Kathmandu yang mempercayai adanya yeti. Namun Dr Nabuka tetap pada keyakinannya bahwa apa yang disebut yeti adalah beruang cokelat. Lebih-lebih lagi, suku-suku di Himalaya menyembah beruang cokelat sebagai jelmaan dewa, dan menghubungkannya dengan kekuatan supernatural sehingga cerita mengenai hewan itu banyak dilebih-lebihkan.
Peneliti itu juga mengaku memiliki foto-foto yang menunjukkan bekas-bekas cakaran dan jejak beruang serta bagian tubuh binatang tersebut yang disembah-sembah oleh orang-orang dari suku pegunungan Himalaya.
Perdebatan bahasa
Namun ketika apa yang disampaikan Nabuka itu sampai ke Nepal, baik pers maupun penduduk lokal menentangnya. Mereka menganggap keterangan Dr Nabuka sebagai sesuatu yang sembrono. Sebuah surat di Kathmandu Post yang ditandatangani Bha Dawa, bahkan menyebutkan peneliti Jepang itu mungkin terlalu lama berada di gunung yang salah, dan mereka-reka sendiri pengertian tentang yeti. Baik yeti maupun meti, menurut Dawa, memiliki arti sebagai binatang yang setengah mistis.
Sementara itu, Dr Raj Kumar Pandey, yang juga meneliti keberadaan yeti serta mempelajari bahasa-bahasa pegunungan Himalaya seperti Dr Nabuka, mengatakan masalah kedekatan bunyi bahasa tidak cukup untuk mengatakan bahwa yeti hanyalah isapan jempol.
“Kita juga harus melihat banyaknya ekspedisi asing yang mengaku melihat yeti. Mereka pasti tidak tahu menahu tentang bahasa suku pegunungan,” kata Dr Pandey seraya menyebut nama-nama saksi mata seperti pendaki gunung Inggris Eric Shipton, pendaki Italia Reinhold Messner, dan pemimpin ekspedisi Everest berkebangsaan Inggris, John Hunt.
“Kita harus melakukan lebih banyak penelitian mengenai bahasa dan melakukan lebih banyak pencarian sebelum kita mempercayai pernyataan seperti yang dikeluarkan Dr Nabuka,” tandas Pandey.
Saksi mata
Suatu jajak pendapat tidak resmi terhadap para pendaki gunung di Kathmandu yang dilakukan BBC News Online di sebuah tempat minum favorit para pendaki, Rum Doodle Bar, menemukan setidaknya tiga orang pendaki yang mengaku pernah bertemu yeti.
Tidak seorangpun dari ketiganya bersedia menyebutkan nama, namun semua yakin apa yang mereka lihat itu benar-benar yeti, dan tidak ada hubungannya dengan banyaknya minuman keras buatan setempat yang mereka tenggak.
Lebih jauh, pernyataan Dr Nabuka ini barangkali juga akan mendapat tentangan keras dari sesama orang Jepang yang saat ini sedang melakukan ekspedisi pencarian yeti di Himalaya. Seperti diberitakan sebelumnya, seorang pendaki Jepang, Yoshiteru Takahashi, beberapa minggu lalu pergi ke Himalaya untuk mengambil gambar kera salju berbulu tebal itu.
Takahashi sebelumnya mengklaim telah menemukan gua tempat tinggal yeti di lereng Dhaulagiri, gunung kelima tertinggi di dunia yang terletak di barat Nepal. Namun saat ia berada di sana pada tahun 1994, kameranya membeku sehingga tidak satu fotopun bisa dibuatnya.
Tahun ini, Takahashi kembali ke sana dengan membawa sembilan kamera infra merah yang dilengkapi piranti yang sensitif terhadap gerakan. “Kami akan mendapatkan gambar makhluk itu kali ini,” ujarnya sebelum berangkat. “Dan dengan foto itu mereka yang tidak percaya akan belajar.”
Jejak Kaki Yeti
Sejumlah jejak kaki dari mahluk legendaris Yeti baru-baru ini ditemukan di lereng-lereng pegunungan Himalaya yang diselimuti salju, demikian yang dilaporkan tim penjelajah Jepang.
Jejak Kaki Yeti
Sejumlah jejak kaki dari mahluk legendaris Yeti baru-baru ini ditemukan di lereng-lereng pegunungan Himalaya yang diselimuti salju, demikian yang dilaporkan tim penjelajah Jepang.
Para petualang ini hampir tidak bisa menyembunyikan kegembiraan mereka saat menemukan jejak-jejak kaki sepanjang 8 inchi yang berbentuk mirip kaki manusia. Namun, pemimpin tim ini Yoshiteru Takahashi mengatakan, makhluk pemilik jejak kaki itu bukanlah manusia dan juga bukan serigala, rusa atau macan tutul salju.
“Kami meyakini jejak-jejak kaki itu milik Yeti,” ujar Takahashi yang memimpin Proyek Yeti Jepang sekembalinya mereka dari kawasan pegunungan itu menuju ibukota Nepal, Kathmandu.
Serangkaian cerita seputar mahluk Yeti yang juga dikenal sebagai Manusia Salju ini sudah tidak asing lagi bagi masyarakat Nepal dari generasi ke generasi yang nenek moyangnya mengisahkan wujud mahluk itu berbentuk setengah manusua, setengah kera yang tinggal di pegunungan Himalaya di mana gunung tertinggi di dunia, Everest, berada. Yeti bisa disamakan dengan mahluk Bigfoot yang melegenda di Amerika Utara.
Masyarakat sains menepis keberadaan mahluk yeti ini dengan mengatakan itu lebih cenderung dari mitos ketimbang fakta, namun Takahashi yakin mahluk itu benar-benar ada.
Jika benar, pastilah usia mahluk itu sudah sangat tua, sebab penampakannya pertama kali dilaporkan pada tahun 1832 oleh orang Inggris James Prinsep yang diberitahukan dari masyarakat lokal adanya mahluk berbulu lebat tinggi.
Takashi yakin jejak kaki berukuran 8 inchi itu adalah milik yeti dan bukan mahluk lain. Dia juga mengklaim pernah melihat Yeti ketika dia pergi menuju pegunungan Himalaya di tahun 2003. Pada ekspedisi itu, dia dan Yeti hanya berjarak 200 yard namun dia yakin dirinya tidak salah melihat.
“Itu bukan siluet. Makhluk itu berjalan dengan dua kaki layaknya manusia dan tingginya sekitar 5 kaki.” Kenang Takashi. Kini penemuan jejak kaki aneh di salju ini merupakan yang terkini dari sekian ekspedisinya dan membuat Takahashi yakin bahwa Yeti masih hidup dan berkeliaran di puncak-puncak Himalaya.
Meksi sudah menghabiskan 42 hari di Dhaulagiri IV pada ketinggian 25.135 kaki, tim ekspedisi ini gagal mendapatkan benda-benda atau rekaman terkait keberadaan Yeti tersebut.
“Tapi kami akan kembali sesegera mungkin dan mudah-mudahan kami bisa mengambil rekaman Yeti. Jika itu berhasil, maka keragu-raguan kita akan sirna,” tegas Takashi.
Sumber: Kevhook
keren banget keberadaan Yeti
BalasHapus