Madagaskar adalah pulau keempat terbesar di dunia, berada di Samudera Hindia lepas pantai Afrika. Ketika bangsa Portugis datang sekitar tahun 1500 M, mereka menemukan Madagaskar telah dihuni oleh masyarakat yang sekarang disebut Malagasi. Berdasarkan posisi geografisnya, mungkin anda mengira kalau bahasa mereka lebih mirip bahasa Afrika yang diucapkan sekitar 200 mil di barat pulau ini, di pantai Mozambik. Mengejutkannya, sesungguhnya terbukti bahasa Malagasi merupakan bagian dari kelompok bahasa yang digunakan di Kalimantan Timur, di seberang jauh Samudera Hindia ribuan mil di timur laut.
Secara fisik, bangsa Malagasi berpenampilan beraneka ragam dari mirip orang Indonesia hingga mirip Afrika Timur. Bahkan film Krakatau justru dibuat di Madagaskar karena kemiripan orang Madagaskar dengan Indonesia. Paradoks ini muncul karena bangsa Malagasi datang antara seribu hingga 2000 tahun lalu, hasil dari petualangan para pedagang dari Indonesia, terutama Dayak dan Bugis, yang berlayar menyelusuri garis pantai Samudera Hindia menuju India dan akhirnya Afrika Timur. Di Madagaskar, mereka mendirikan masyarakat berbasis peternakan sapi, kambing, dan babi, bertani, dan menjadi nelayan, dan terhubung ke pantai Afrika Timur lewat para pedagang Muslim.
Sama menariknya dengan masyarakat Madagaskar adalah hewan liar yang hidup dan tidak hidup di sana. Hidup dalam kenaekaragaman hayati dari benua Afrika, dimana ada banyak spesies hewan besar dan menarik yang berjalan di tanah dan aktif di siang hari – antelop, burung unta, zebra, babon, dan singa yang menarik wisatawan ke Afrika Timur. Anehnya, tidak satupun hewan ini ada di Madagaskar sekarang, dan tidak ada juga hewan yang berkerabat dengannya di pulau ini. Mereka tetap terpisah 200 mil oleh laut yang memisahkan Madagaskar dan Afrika, sama seperti tidak adanya hewan berkantung seperti Kangguru di Selandia Baru karena terpisah oleh Laut Tasman dengan Australia. Justru, Madagaskar mengandung dua lusin spesies primata kecil mirip monyet bernama lemur, yang beratnya hanya paling besar sepuluh kilogram dan paling aktif di malam hari serta hidup di pohon.
Berbagai spesies pengerat, kelelawar, insektivora, dan kerabat cerpelai juga ada, namun yang terbesar tetap saja beratnya hanya 12,5 kilogram.
Walau begitu, berserakan di pantai-pantai Madagaskar bukti-bukti burung raksasa yang telah punah, dalam bentuk tak terhitung kulit telur seukuran bola sepak. Pada akhirnya, tulang belulang muncul bukan hanya dari burung yang mengerami telur tersebut, namun juga dari banyak mamalia dan reptil besar. Para pembuat telur tersebut adalah setengah lusin spesies burung raksasa yang tidak dapat terbang dengan tinggi lebih dari 3 meter dan beratnya setengah ton, seperti moa dan burung unta namun lebih kekar dan karenanya di beri nama burung gajah. Reptilnya adalah dua spesies kura-kura raksasa dengan tempurung hampir satu meter diameternya, dan dahulu sangat banyak, ditunjukkan oleh berserakannya tulang belulang mereka. Lebih banyak lagi jenis lemur raksasa yang mencapai sekitar satu lusin dengan ukuran sebesar gorila, dan semua lebih besar atau setidaknya sama besar dengan spesies lemur terbesar sekarang. Dilihat dari kecilnya ukuran orbit mata di tengkorak mereka, semua atau sebagian besar lemur yang telah punah ini mungkin hidup di siang hari ketimbang malam hari. Sebagiannya hidup di tanah seperti babon, sementara yang lain memanjat pohon seperti orangutan dan koala. Belum cukup lagi, Madagaskar juga menjadi tempat tulang belulang kuda nil cebol yang telah punah yang ukurannya hanya sebesar sapi, dan aardvark, karnivora kerabat cerpelai namun bertubuh mirip puma berkaki pendek. Bersama-sama, para hewan besar yang telah punah ini menjadikan Madagaskar masa lalu seperti taman safari penuh hewan besar – seperti moa dari Selandia Baru dan burung-burung aneh. Kura-kura, burung gajah, dan kuda nil cebol mungkin menjadi herbivora yang menggantikan antelop dan zebra; lemur menggantikan baboon dan kera besar; dan karnivora kerabat cerpelai menggantikan leopard dan singa.
Apa yang terjadi dengan semua mamalia, reptil, dan burung raksasa ini? Kita cukup yakin kalau setidaknya dari mereka hidup di mata para pendatang Malagasi pertama, yang menggunakan kulit telur burung gajah sebagai gentong penyimpan air dan melemparkan tulang belulang kuda nil cebol yang telah dijagal dan spesies lainnya di tumpukan sampah. Selain itu, tulang belulang semua spesies punah lainnya diketahui dari lokasi fosilnya hanya berusia beberapa ribu tahun. Karena mereka pastinya telah berevolusi dan bertahan hidup selama jutaan tahun hingga saat itu, kecil kemungkinannya kalau semua hewan ini punah di masa kedatangan para penduduk pertama. Faktanya, beberapa masih hidup di daerah terpencil di Madagaskar hingga bangsa Eropa datang, karena gubernur Flacourt dari Perancis pada abad ke 17 menjelaskan gambaran mengenai hewan lemur seukuran gorila. Burung gajah mungkin bertahan cukup lama untuk menjadi terkenal bagi para pedagang Arab di Samudera Hindia, dan memunculkan legenda rok (burung raksasa) pada kisah Sinbad si pelaut.
Jelas sebagian atau mungkin semua raksasa yang punah di Madagaskar entah bagaimana punah akibat aktivitas bangsa Madagaskar awal. Tidak sulit memahami mengapa burung gajah punah, karena kulit telur mereka cukup untuk menjadi tong yang menampung air dua galon. Sementara bangsa Malagasi adalah peternak dan nelayan bukannya pemburu, hewan besar lain dapat menjadi mangsa yang mudah, karena mereka belum pernah melihat manusia sebelumnya. Mungkin, seperti moa dari Selandia Baru, mereka sama jinaknya dengan penguin Antartika dan hewan lain yang berevolusi tanpa kehadiran manusia. Seorang Malagasi yang lapar dapat berjalan ke arah hewan jinak tersebut, memukulnya, dan menikmati makan siang. Ini mengapa lemur yang mudah ditemukan dan mudah ditangkap cukup besar untuk dapat dijagal. Spesies ini hidup di siang hari, besar, dan hidup di darat. Semua punah, sementara tinggal lemur kecil, yang hidup di malam hari, dan tinggal di pohon saja yang tersisa.
Sumber: FaktaIlmiah.com
0 komentar:
Posting Komentar